Leticia Care "Kasih Agape"


Untuk yang ke dua kalinya di tahun 2012, D ‘Leticia kembali mengadakan acara Leticia Care (LC). Kali ini LC diadakan pada tanggal 11 Agustus 2012 di Panti Asuhan Kasih Agape yang terletak di Jl. Pakis Gunung I, Surabaya.
Acara dimulai dengan doa pembukaan yang dilanjutkan dengan bernyanyi bersama. Antusias anak – anak panti Kasih Agape begitu luar biasa, terbukti mereka berebutan maju untuk bernyanyi bersama. Tak Lupa yang menjadi ciri khas Leticia Care adalah perayaan ulang tahun bagi teman – teman anggota D ‘Leticia dan anak – anak panti asuhan. Andy (28 Juni), Nancy (18 Juli) dan Simon (1 Agustus) ikut ambil bagian bersama anak – anak panti Kasih Agape untuk merayakan ulang tahun bersama. Acara dilanjutkan dengan sambutan dari pihak panti asuhan serta penyerahan sumbangan berupa : sumbangan kebutuhan pokok seperti beras, minyak, mie; sumbangan buku dan alat tulis sekolah serta sumbangan baju dan sepatu yang layak digunakan. Sumbangan – sumbangan tersebut diserahkan secara simbolis kepada pihak panti untuk 70 anak yang berada dibawah naungan Panti Asuhan Kasih Agape.


Kami D ‘Leticia mengucapkan Terima Kasih kepada Tuhan atas segenap berkat dan karunia-Nya dan juga atas semua bantuan yang datang dari berbagai pihak baik berupa materi maupun barang. Tanpa anda semua Leticia Care tidak bisa kami jalankan. Sampai jumpa di Leticia Care berikutnya.....
Together We Share To The World

 Foto - foto selengkapnya klik disini : Gallery 

Selamat Tinggal Daniel



Gambar ini hanya ilustrasi
“Kita putus!” Masih terngiang ditelingaku kalimat yang diucapkan Agnes dua jam yang lalu.
Aku hanya diam membisu. Seolah ada sesuatu yang tajam menusuk ke dalam hatiku.
“Kamu ngga kayak cowok teman-teman aku yang lain. Kalau mau dibandingin kayak langit dan bumi deh. Semuanya pada cerita tentang kehebatan dan kelebihan pacar mereka sedangkan aku? Aku ngga tau harus ngomong apa!”
Aku memilih diam dan mendengarkan alasannya memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan dua tahun.  Tepatnya hari ini kami dua tahun jadian.
“Masa hari gini dia ngga punya Blackberry?! Yang ada hanya Hp butut nan tua. Yang bisa untuk sms dan telpon doang. Sedangkan pacar teman-teman aku, jangankan BB, iphone pun punya. Trus kamu ngga pernah jemput aku. Jangankan pake mobil. Sepeda aja ngga punya, apa lagi motor! Ke mana-mana naik angkot. Duh, padahal Jakarta kan panas dan berdebu di mana-mana. Coba lihat tuh, cowoknya si Ririn. Mau naik mobil apa aja bisa. Tinggal pilih yang ada di garasi rumahnya. Sopir ngga cuma satu tapi lebih. Ke mana aja pasti dianterin. Sementara, kamu?! Jauh banget……”
Aku mencoba menahan rasa sakit tersebut.
“Kamu tidak pernah ajak aku makan di kafe atau restoran yang berkelas gitu. Yang ada minum es teh dan makan bubur di pinggir jalan. Kan kalo teman-teman aku liat bisa gengsi aku. Gengsi segengsi gengsinya. Gokil, malu-maluin banget sebanget bangetnya!”
Hatiku hanya berbisik, “Jadi selama ini kamu malu kalau aku ajak kamu makan di pinggir jalan?”
“Kamu ngga pernah ngasih aku kado atau sesuatu yang “mahal” gitu. Coba, si Keisha yang baru jadian satu bulan ama si Tio, pake liontin berlian. Sedangkan aku? Mimpi kali yeeee….”
Akhirnya bibirku pun mengeluarkan kalimat tersebut. “Maaf, kalau selama kita jadian aku tidak bisa seperti  pacar teman-teman kamu. Terima kasih kalau kamu pernah hadir dalam hidupku. Seharusnya dari awal kamu tau kalau aku hanya anak yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa.”
Detik berikutnya aku hanya melihat punggung Agnes yang meninggalkanku. Meninggalkan sebuah luka dihatiku.
*****

“Ko Tara!” teriak Daniel menyambut kedatanganku. Sebuah pelukan hangat membalut tubuhku. Sambutan Daniel menjadi obat sakit di hatiku.
Aku membalas pelukannya. Detik berikutnya air mataku jatuh tak tertahan. Aku tidak pernah menyesal terlahir dikeluarga yang miskin. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan ketika aku harus kehilangan kedua orang tuaku lima tahun yang lalu. Waktu mereka pergi untuk selama-lamanya, Daniel baru berusia dua tahun. Beruntung waktu itu aku baru saja menyelesaikan bangku SMA.
Aku  harus membesarkan Daniel sendiri dengan hasil uang yang aku dapat dari menjadi seorang social media specialist dan brand consultant yang aku rintis.
“Kamu sudah makan?” tanyaku sambil menatap wajah Daniel.
“Aku nunggu koko! Aku mau makan dengan koko!”
Aku memperhatikan wajah Daniel! Pucat! Sementara ada tanda bercak darah pada kulitnya yang putih.
“Kamu ngga kenapa-napakan, Dan?” Tanyaku penuh dengan kekuatiran.
“Koko, Daniel sehat-sehat saja! Cuma tadi sempat mimisan!”
Aku terkejut mendengar jawaban Daniel.
“Selesai makan nanti kita ke dokter ya?”
“Daniel, takut di suntik!”
“Kamu ngga usah takut! Kan ada koko! Disuntik cuma kayak digigit semut merah.”
“Ya, udah! Tapi aku ditemanin sama koko ya?”
Aku menggangukkan kepalaku tanda setuju.
*****

Daniel dirujuk ke Bagian Anak di salah satu Rumah Sakit di Jakarta . Di rumah sakit itu, sumsum tulang belakangnya diambil. Ternyata trombositnya rendah, sedangkan sel darah putih berlebihan. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan, ia positif terjangkit leukemia dan harus menjalani pengobatan selama dua tahun.
Pada tiga bulan pertama, Daniel dikemoterapi dan diberi obat antikanker (stitostika). Setiap kali mendapat pengobatan, ia muntah, nyeri pada sendi, dan rambut rontok. Sel kanker pun menjalar hingga ke bagian otak. Harapan untuk sembuh kian tipis.
“Koko! Daniel sayang koko!” ucap Daniel ketika memelukku diatas ranjangnya.
“Koko juga sayang Daniel! Tuhan pasti sembuhkan kamu!” aku mencoba menghiburnya. Setiap hari aku meyakinkannya, kalau dia pasti sembuh.
“Besok, Daniel sudah bisa pulang!”
Mungkin itu berita gembira bagi Daniel. Tapi bagiku, tidak! Uang tabunganku sudah habis untuk membiayai pengobatan Daniel. Dua hari yang lalu aku terpaksa menjual laptopku untuk menutupi biaya yang belum aku lunasi. Daniel tidak akan mendapatkan terapi lagi.
“Daniel, malu!”
“Malu kenapa sayang?”
“Kepala Daniel botak!”
“Tapi koko ngga pernah malu punya adik yang kepalanya botak!”
“Koko, minggu depan Daniel ulang tahun yang ke delapan loh!”
Aku menatap Daniel. “Koko ingat kok! Daniel mau kado apa?”
Daniel berpikir sejenak.
“Daniel cuma mau sembuh. Daniel ngga mau kado apa-apa.”
“Serius? Daniel suka SpongeBobkan?”
“Suka banget!”
“Mau ngga kalo koko kasih boneka SpongeBob?”
“Mau!” sahut Daniel dengan semangat!
*****

Daniel menatapku. Sebuah tatapan yang menyiratkan pertanyaan untuk aku jawab.
Daniel memelukku. Air matanya jatuh. Aku mengumpulkan semua kekuatan untuk tersenyum.
“Koko, kita tinggal di sini?” tanyanya dengan polos.
Aku mencoba menguatkan hatiku.
“Iya, sayang. Ini rumah baru kita.”
Mendengar jawabanku, Daniel menuntunku untuk masuk ke gubuk tersebut. Gubuk tua yang aku kontrak di pinggiran rel kereta api.
Semuanya sudah habis aku jual untuk membiayai pengobatan Daniel. Untuk urusan kerjaan aku terpaksa ke warnet terdekat.
Tapi aku bersyukur dan percaya, semuanya akan indah pada waktunya.

*****

Aku memeluk Daniel dengan lembut yang terbaring beralaskan kasur tipis.
“Koko… Daniel sayang koko!”
“Koko juga! Koko sayang Daniel!”
“Ko, apa artinya meninggal dunia?”
Pertanyaan yang menghentakkan diriku yang lelah dan lapar.
“Artinya, kamu akan suatu tempat yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan takut.”
“Kalau aku meninggal dunia, siapa yang akan menemani koko?”
Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku tahu, koko sering ngga makan biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki ke mana-mana biar bisa belikan aku sesuatu setiap hari. Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Daniel?” ucapnya sambil meneteskan air matanya.
Aku memeluknya.
“Kamu ngga usah mikirin koko ya, sayang!  Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti kalau aku sudah besar dan punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku tertutup rapat. Bungkam. Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.
“Koko, aku pengen jadi motivator kayak koko!”
“Kamu pasti bisa, sayang!”
“Tapi kenapa koko ngga pernah dibayar kalo ngasih motivasi ke orang?”
Aku mengusap wajahnya yang polos dan penuh tanda tanya.
“Melayani itu ngga boleh mikirin bayaran.”
Daniel tersenyum.
“Koko, aku mau nyanyi buat koko.”
“Koko mau dengar suara merdu kamu, sayang.”
Detik berikutnya suaranya memenuhi gubuk tua tempat kami tinggal.
*****
“Koko, kenapa nangis?” tanya Daniel dengan lemah.
Hari ini keadaan Daniel kritis. Terpaksa aku membawanya ke rumah sakit.
Aku menghapus air mataku.
“Tuhan sembuhkan atau tidak, bagi Daniel Tuhan tetap baik!”
Aku menggangukan kepalaku tanda setuju dengan ucapannya.
“Koko…. Terima kasih buat boneka SpongeBobnya ya!”
“Sama-sama sayang.”
Daniel mengambil sesuatu dibalik bantalnya.  Lalu dia melihatnya dengan lemah.
Foto kedua orang tuaku bersama aku dan Daniel yang masih bayi.
“Koko, maafin Daniel ya kalo selama ini Daniel nakal dan repotin koko. Nanti kalo Daniel ke Surga, Daniel akan cari mama dan papa. Koko ngga usah kuatir lagi.”
Aku memeluk Daniel. Ya Tuhan! Aku belum siap kehilangan Daniel!
Dengan pelan Daniel mengucapkan sebait doa sambil memeluk boneka SpongeBobnya.


Tuhan….
Aku lapar! Sangat Lapar!
Tapi aku tidak ingin meminta makanan.
Aku hanya minta berkati mereka yang kelaparan sepertiku.

Tuhan…
Aku sakit! Sangat sakit!
Tapi aku tidak meminta kesembuhan.
Aku hanya minta sembuhkan mereka yang sakit sepertiku.

Tuhan…
Aku sebatang kara!
Tapi aku tidak meminta boneka.
Aku hanya minta hiburkan mereka yang kesepian.

Tuhan…
Bajuku penuh tambalan.
Tapi aku tidak meminta baju baru.
Aku hanya minta berkati mereka yang berkekurangan.

Tuhan…
Aku tidak ingin mujizat-Mu.
Meski aku tahu, Engkau sanggup melakukan-Nya.
Aku hanya minta, tunjukkan mujizatmu kepada mereka yang tidak mempercayai-Mu.

Tuhan…
Kalau nanti aku meninggal.
Aku tidak ingin ada yang menangis.
Tapi aku ingin mereka tersenyum. Tersenyum karena aku bertahan hingga akhirnya.

Tuhan…
Malam ini aku tidak meminta apa-apa untuk diriku.
Jadilah kehendakmu di bumi seperti di Surga.
Karena aku tahu, bersama-Mu semuanya akan Engkau berikan.
AMIN



Detik berikutnya Daniel menatapku dengan lembut dan lemah. Perlahan-lahan matanya tertutup rapat. Air mataku jatuh berderai tak tertahan.

Apa yang dapat teman – teman petik dari cerita diatas? 



Artikel ini dapat anda lihat juga di theinspiredblog.blogspot.com
Sumber : http://motivatorsuper.com/selamat-tinggal-daniel/3917